Rabu, 11 Juni 2014

Asesmen Dalam Psikologi Klinis Intelegensi dan Kepribadian

BAB I
PENDAHULUAN



1.      Latar Belakang

Pada awalnya, dengan mengangkat istilah diagnostik dalam dunia kedokteran, dalam psikologi klinis digunakan istilah psikodiagnostika. Yang dimaksudkan dengan psikodiagnostika ialah usaha untuk menemukan sumber dari gejala atau simtom dan atau sindrom yang tampak atau dapat diindra, atau sumber penyakit atau gangguan untuk kemudian memasukkan penyakit atau gangguan tersebut ke dalam klasifikasi gengguan kejiwaan.
Istilah lebih sering digunakan untuk memahami gejala-gejalaperilaku yang dianggab menyimpang atau sakit. Padahal, dalam psikologi, berbeda dengan kedokteran, yang ingin diketahui itu tidak semua berupa gejala sakit. Bahklan dalam psikologi klinis pun terdapat gerakan yang tidak hanya disebut sebagai maladaptif (tidak sesuai).
Saat ini yang paling banyak dipakai adalah istilah asesmen, sebagaimana sedang dibicarakan dalam makalah ini. Berikut akan dijelaskan mengenai asesmen dalam psikologi klinis.

2.      Rumusan Masalah

a.       Apa dan Bagaimana Asesmen Dalam Psikologi Klinis ?
b.      Apa pengertian Intelegensi  ?
c.       bagaimana asesmenn Intelegensi dalam psikologi klinis  ?
d.      Bagaimana Asesmen  kepribadian dalam Psikologi Klinis ?

3.      Tujuan
a.       Untuk mengetahui, memahami dan memberikan penjelasn mengenai Asesmen dalam psikologi Klinis
b.      Guna mengetauhi, memahami dan menjelaskan Pengertaian Intelegensi
c.       Untuk memahami Asesmen Intelegensi dalam psikologi klinis
d.      Untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan mengenai asesmen Kepribdian dalam psikologi


BAB II
PEMBAHASAN
Asesmen dalam psikologi klinis

  1. Asesmen dalam Psikologi Klinis
Asesmen dalam psikologi klinis ialah pengumpulan informasi untuk digunakan sebagai dasar bagi keputusan-keputusan yang akan disampaikan oleh penilai (Bernstein dan Nietzel, hal 99). Personality asesmen ialah seperangkat  proses yang digunakan oleh seseorang untuk memebentuk citra, membuat keputusan, mengecek hipotesis tentang pola karakteristik orang lain, yang menentukan prilakunya dalam interaksi dengan lingkungan (Sundberg, dalam Phares, 1992).
Menurut Bernstein dan Nietzel (1980) ada empat komponen dalam proses asesmen psikologi klinis yakni:
1.      Perncanaan dalam prosedur pengumpulan data (planing data collection procedures)
2.      Pengumpulan data untuk asesmen
3.      Pengolahan data dan pembentukan hipotesis atau” image making”
4.      Pengkomunikasikan data asesmen baik dalam bentuk laporan maupun dalam bentuk lisan.
a). Perncanaan dalam prosedur pengumpulan data
Sebelum dilakukan prosedur asesmen, terlebih dahulu pemeriksa harus bertanya pada diri sendiri apa yang ingin diketahui dan bagaimana caranya. Untuk masalah seperti “Apakah seseorang dapat menjabat sebagai kepala perusahaan?” atau “Apakah seseorang yang baru sembuh dari kecelakaan tabrakan mobil dapat bekerja kembali?” diperlukan suatu perencanaan. Perencanaan ini melupiti apa yang perlu diketahuidn bagaimana cara memperoleh jawabannya.
Prosedur pemeriksaan dalam psikologi klinis umumnya terdiri dari observasi, wawancara dan tes yang dipilih sesuai dengan pertanyaan yang harus dijawab tadi. Untuk efisiensi dalam proses pemeriksaan biasanya digunakan cara-cara yang dapat memberi informasi dengan keluasan (breadth, bandwidth) dan kedalaman (intensity, fidelity) yang cukup. Validitas dan rehabilitas tes, orientasi teoritik pemeriksa, variabel-variabel yang penting berkaitan dengan pertanyaan yang harus dijawab, menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan itu. Selanjutnya perlu dipertimbangkan apakah tujuan asesmen itu untuk melakukan klasifikasi (diagnosis medis), deskripsi variabel, atau untuk prediksi.

Pertanyaan tentang kemampuan seorang menjadi pemimpin bertujuan terutama membuat prediksi. Asesmen terhadap orang yang baru mengalami kecelakaan bertujuan untuk mendiagnosis atau klasifikasi tentang ada tidaknya kerusakan. Masalah seperti “Apakah seorang mahasiswa dari daerah dapat menyesuaikan diri bila belajar diluar negri”, memerlukan deskripsi dari variabel-variabel (kepribadian, kemampuan, keadaan sosial ekonomi) yang berperan untuk memprediksi apakah mahasiswa tersebut dapat menyesuaikan diri diluar negri. Ketiga tujuan ini (klasifikasi, deskripsi, prediksi) mungkin tumpang-tindih, namun diharapkan bahwa salah satu tujuan dari asesmen lebih meninjol. Data apa yang diperlukan untuk tujuan ini agak berbeda bila orientasi teoritik pemeriksa berbeda. Rangkuman stidy kasus dari Sundberg, Tayler dan Taplin mewakili pendekatan yang netral, sementara rangkuman studi kasus yang dikembangkan oleh Korchin berorientasi psikodinamis, dan yang dikembangkan oleh Kanfer dan Saslow berorientasi behavioristik/belajar (dalam Bernstein dan Nietzel, 1980)
b). Pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan tes
Sesuai dengan pertayaan pada tahap perencanaan maka ditentukan bagaimana wawancara dilakukan dan informasi apa yang diutamakan. Demikian juga untuk observasi, perlu ditentukan metode dan fokus observasi.
Wawancara adalah metode asesmen yang relatif murah dan mudah. Wawancara dapat dilakukan dimana saja dan fleksibel dalam pelaksanaannya. Namumn wawancara mempunyai kelemahan yakni dapat terdistorsi oleh sifat pewawancara dan pertanyaan apa yang diajukan, dipengaruhi oleh keadaan klien yang diwawancara (misalnya, daya ingat atau kesediaannya untuk memberi informasi) dan oleh situasi/keadaan tempat wawancara dilaksanakan.
Hasil observasi juga merupakan sumber informasi yang penting untuk asesmen. Keuntungan observasi adalah dapat melihat langsung apa yang dilakukan subjek yang merupakan saran asesmen. Ini lebih baik dari pada hasil wawancara yang dapat direkayasa oleh subjek yang diwawancara. Situasi untuk observasi dapat dipilih yang paling tepat, misalnya untuk mengobservasi agresivitas anak lebih baik dilakukan dilingkungan sekolah. Selanjuynya observasi dapat diarahkan secara lebih spesifik untuk tujuan kuantifikasi. Kelemahan observasi adalah adanya pengaruh bias dari observer.
Tes, seperti wawancara, juga memberikan sample dari tingkah laku. Keuntungan dari tes adalah mudah, ekonomis, dapat dilakukan oleh banyak orang (asal profesional) dan terstandardisasi. Selain data dari sumber tersebut, catatan lain (life, recorfs), misalnya yang ditulis oleh orang tua atau teman subjek, tentang subjek yang sedang diperiksa, dapat merupakan data yang juga penting.
c). Pengolahan Data dan Pembentukan Hipotesis
Bila data telah terkumpul, pemeriksa dapat memberi makna atau mengiterprestasikan sesuai dengan tujuan (klasifikas, deksripsi, prediksi) dan orientasi teoritiknya. Data mentah dari observasi, wawancara dan tes diubah menjadi kesimpulan (hipotesis, image dan hubungan-hubungan) yang dapat dibedakan dalam tingkatan abstraksinya (dapat sangat abstrak, atau lebih konkret), dalam orientasi teoritiknya (psikoanalitik, behavioristik dan lain-lain), dan dalam kaitannya dengan tujuan asesmen.
Temuan dari observasi dan wawancara dapat digunakan sebagai sample tingkah laku, sebagai korelat atau penyerta tingkah laku, atau sebagai tanda dari adanya hal yang melandasi tingkah laku itu. Tingkat abstraksi paling tinggi adalah pada yang terakhir.
Contoh kasus: Seorang pria 53 tahun terlihat mengecek sendiri tekana  darah secar priodik ditempat tunggu praktik dokter. Bila disimpulkan bahwa “ia pasti kaya oleh karena bisa beli alat, ia khawatir tentang tekanan darahnya yang naik turun”, maka kesimpulan itu didasarkan atas prilaku sebagai sample. Bila disimpulkan baha “prilaku seperti itu bisa terjadi pada pria yang sedang stres” atau “pria tersebut mungkin sedang mengalami sakit”, maka kesimpulan ini lebih tinggi tingkatan abstraksinya. Kesimpulan tentang prilaku tadi adalah suatu korelat, sesuatu yang terkait dengan keadaan lain yang menurut peneliti demikian adanya.
Bila contoh tadi disimpulkan sebagai “pasien itu hipokondrik narsisistik terarah pada diri sendiri” maka kesimpulan ini adalah yang paling tinggi tingkatan abstraksinya, yang menafsirkan prilaku subjek sebagai suatu tanda (sign) dari adanya gangguan tertentu. Tingkatan abstraksi seperti ini biasanya terkait dengan tampilan prilakunya. Levy memberi nama n”interprestasi proposisional” untuk tingkat abstrak ini. Karena dalam kesimpulan ini terkandung makna hubungan sebab-akibat, yaitu karena pasien narsisistik, maka (salah satu) manifestasinya adalah terpusat pada diri sendiri dengan setiap kali mengukur tekanan darah.
Proses informasi untuk menarik kesimpulan dapat dibedakan dalam kesimpulan yang dilakukan secara subjektif-klinis atau secara objektif statistik. Ini mengikuti tradisi dari freud (subjektif) dan cattell (objektif). Pendekatan subjektif yang dilakukan Frued terhadap pasiennya mengandalakan observasi-klinis atas subjek-subjeknya dan membuat kesimpulan atas dasar “cues” yang tampil dari wawancara/observasi. Kesimpulan yang umumnya sangat jauh dari data yang didapat dari observasi wawancara, dilakukan oleh Freud dengan ketepatan yang cukup baik pada waktu itu. Misalnya dari mimpi dikejar-kejar orang, ketinggalan kereta api disimpulkan adanya ketegangan seksual. Pendekatan klinis mirip yang dilakukan oleh Freud kemudian juga dilanjutkan, namun dari berbagai penelitian ternyata daya prediksi melalui pendekatan klinis-subjektif itu tidak lebih baik dari daya prediksi dengan metode statistik.
Pendekatan objektif statistik menggunakan data objektif kuantitatif untuk dasar kesimpulan. Bila dilakukan observasi maka ada langkah-langkah yang jelas tentang hasil observasi, demikian juga tes diskor secara jelas. Pendekatan psikometrik sepert itu sekarang dikembangkan menjadi program interprestasi melalui komputer yang menginterprestasikan langsung data kuantitatif yang dibuat oleh klien sewaktu ia misalnya menjawab soal-soal tes klinis Minnessota Multiphasic Personalitu Inventory (MMPI).
Meskipun pendekatan subjektif/intuitif klinis dianggap lemah, namun hal itu dapat diperbaiki dengan mempertajam proses pengumpulan data dan menganalisis langkah-langkah dalam proses pembuatan kesimpulan secara lebih rinci.
Selanjutnya pada tahap keempat adalah menyampaikan hasil asesmen kepada yang berkepentingan. Setelah disimpulkan sesuai dengan apa yang dibahas pada tahap ketiga, masih perlu dipikirkan bagaimana menulis laporan pemeriksaan psikologis. Secara umum laporan pemeriksaan psikologik harus jelas (bagi yang memerlukan), relevan dengan tujuan pemeriksaan, dan bermanfaat bagi konsumennya.
Dilihat dari substansi pemeriksaan, terdapat banyak jenis asesmen yang digunakan dalam psikologi klinis, terutama asesmen pemfungsian intelektual, asesmen kepribadian, asesmen pemfungsian neuro sikologis, dan asesmen kepribadian.


  1. Intelegensi
1.      Defenisi Intelegensi
Pengertian intelegensi yang paling banyak dianut oleh para ahli adalah apa yang dikemukakan oleh Wechsler, yang mengatakan bahwa intelegensi merupakan pembangkit atau kapasitas global individu untuk bertindak bertujuan, berfikir rasional, dan berhubungan efektif dengan lingkungannya.
Namun Rudolf Amthauer (1970) menyatakan hal yang sedikit berbeda. Menurutnya, intelegensi ialah sebagai suatu struktur khusus dalam keseluruhan kepribadian seseorang, suatu keutuhan yang berstruktur yang terdiri atas kemampuan jiwa mental dan diungkapkan melalui prestasi, serta memberikan kemampuan kepada individu untuk bertindak. Intelegeni hanya dapat dikenal melalui ungkapan-ungkapan, yaitu terlihat melalui prestasi.
Sumber intelegensi sendiri adalah genetika, lingkungan dan genetika lingkungan. Yang dimaksud dengan genetika atau bersifat genetis artinya memiliki sumber asal yang bersifat turunan, sedangkan lingkungan adalah segala hal yang terjadi di lingkungan yang memberikan dampak terhadap sisi kognitif kehidupan kejiwaan kita. Yang dimaksud dengan genetika-lingkungan adalah sintesis dari lingkungan dan genetis, ialah landasan intelegensi yang terjadi akibat adanya pengaruh lingkungan.
Berdasarkan posisi genetik, prediktor utama intelegensi anak adalah IQ orang tua anak itu, bebas dari siapa yang mendidiknya. Beberapa bukti yang mendukung hubungan antara intelegensi dan turunan diterbitkan oleh Erlenmeyer-Kimling dan jarvik (1963).
Sebaliknya, posisi lingkungan menyatakan bahwa, kondisi-kondisi lingkunagn dapat mengungguli turunan dalam menentukan kapasitas intelektual.
Berikut ini dikemukakan beberapa alat tes intelegensi yang umum dipakai, khususnya di Indonesia:
1.      Satand-Binet Intelegence Scale
Semua alat tes pengukuran intelegensi ini adalah Skala Binet-Simon. Alat ini terdiri atas 30 pertanyaan yang dimulai dari yang sangat mudah ke yang sangat sukar dan yang mengukur kemampuan sensori dan perseptual, seperti juga kemampuan verbal. Kemudian, mengalami beberapa revisi, dan revisi besar-besaran dilakukan di Amerika oleh Terman (1916) di Standford University yang kemudian dikenal dengan nama Standford-Binet.
2.      Wechsler Adult Intelegence Scale (WAIS)
WAIS merupakan alat pemeriksaan intelegensi yang bersifat individu. WAIS merupakan alat yang paling populer karena paling banyak digunakan saat ini. Semula bernama Wechsler Bellevue Intelligence Scale (WBIS) disamping WISC (Wechsler intellegence Scale for Children).

Tes intelegensi ini (WAIS) memiliki 6 subtes yang terkombinasikan dalam bentuk skala pengukuran keterampilan tindakan.
Subtes verbal, terdiri atas:
1)      General information (mengukur informasi yang telah dipelajari dari kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan budayanya)
2)      General Comprehension (mengukur social Judgement, kemampuan untuk menggunakan informasi sebelumnya untuk menghadapi masalah sehari-hari dan kapasitas pemahaman atau abstraksi)
3)      Arithmatic (mengukur kemmpuan konsentrasi dan rentang perhatian aktif )
4)      Similarities (mengukur memori, kongfrehensif, abstract reasoning, dan kapasitas berfikir asosiatif dan conceptual judgement )
5)      Vocabulary (mengukur tentang gagasan, isi pikiran, kekayaan proses kognitif dan lingkungan.)
6)      Digit Span (membedakan orang yang tenang dan atentif dari yang mudah terganggu penuh kecemasan dan yang tidak memiliki perhatian).
Subtes performance, terdiri atas:
1)      Digit Symbol (mengukur deksteriti visual-motor dan koordinasi motor halus, juga digunakan untuk menindikasikan taraf persistensi subyek dalam sticking atas tugas-tugas tidak menarik)
2)      Picture Completion (mengukur diskriminasi visual, konsentrasi, dan reasoning)
3)      Block Design (mengukur nonverbal reasoning, kecepatan berprestasi, dan koordinasi visual motor).
4)      Picture Arrangement (mengukur kemampuan subyek untuk menggunakan persepsi visual yang akurat, melihat kedepan, merencanakan dan menafsirkan situasi sosial)
5)      Object Assembly (mengukur analisis visual kemampuan menyusun secara sederhana, kemampuan untuk menangani hubungan bagian keseluruhan). Subtes ini melihat koordinasi visual motor lebih aktif daripada yang diukur Picture Arrangement.
2.      WAIS/WBIS dalam seting klinis (Wiryawan)
Tes intellegensi yang bersifat khas karena individual (WAIS/WBIS) ditinjau dari seting klinis, meliputi pengukuran keterampilan verbal dan pengukuran keterampilan melakukan tindakan (Performance).
a.       Pengukuran keterampilan verbal
1.      Informasi
Fungsi intelegensi terpengaruh oleh pematangan proses, antara lain memungut informasi yang juag dipengaruhi oleh emosi dan motivasi. Dalam intelegnsi, ada unsur yang dipakai (information picking up recall) yaitu psichologikal; significance (ada memori dan emosi). Semakin banyak yang harus di recalled, semakin banyak pula (effort) yang diusahakan, sehingga makin banyak usaha sadar. Sengan demikian, subtes informai dapat digunakan untuk mengukur Conciousness dan unconciousness atau ego Function. Kalau item mudah tak dijawab, menggambarkan keadaan skizofren, histeri, depresi, atau neurasthenia.
Informasi lebih kecil dari kosa kata (vocabulary) menunjukkan involutional depression, chronic paranoid schizophrenia, dan histeria. Pada histeri, informasi rendah menunjukkan lemah dalam pengolahan. Sedangkan informasi yang terlalu besar, menunjukkan kompulsi preskizofrenia.
2.      Komprehensi
Reality testing, ketetapan reaksi terhadap suatu kenyataan, menyangkut masalah emosional dan moral dalam judgement-nya. Ada tindakan baik tetapi tidak bijaksana yang menyangkut dua hal, yaitu intellectual level dan emosional level.
      Judgement terletak dalam borderline, antara intelegensi dan emosional. Ada yang memobilisasikan fungsi intelektual. Judgement merupakan ukuran sampai dimana orang tersebut dapat mengendalikan emosinya
3.      Similaritas
Yang dilihat dari subtes ini, pertama-tama adalah kemampuan dalam pembentukan konsep. Selanjutnya adalah pembentukan pengertian. Jika terjadi impairment, misalnya pada item anjing-singa, pemahaman konseptual, adalah binatang yang didapat dari kemampuan abstract conceptual level. Ini adalah suatu pemahaman ideal. Ada juga pemahaman sebagai akibat hasil belajar yang sudah Advance, sehingga skor yang baik belum tentu merupakan concept formation yang baik; kadang-kadang sebagai cover saja.
b.      Pengukuran keterampilan tindakan (Performance)
Sub tes ini merupakan jalinan beberapa hal, tetapi yang utama adaalh antisipasi; tidak murni intellectual funcction melainkan emotional function.
  1. Asesmen kepribadian
Asesmen kepribadian merupakan istilah yang umum dalam upaya untuk menemukan pola prilaku dan pola pikiran atau penyesuayan diri seseorang secara khas terhadap lingkungannya. Sunberg (1979), Meehl (1952) menyatakan laporan kepribadian sebagai laporan yang menandakan ia tidak seperti seorang lainnya. Kadang-kadang lingkunagn ini dilengkapi menjadi tuntutan lingkungan, baik ketika seorang psikolog diminta untuk mengakses kepribadian seseorang yang sedang memiliki masalah dan berada dalam suatu kondisi lebih buruk daripada biasanya. Salah satu sifat yang khas dalam laporan kepribadian adalah bahwa satu-satunya bentuk yang memadai adalah laporan yang bersifat dinamis yang menggambarkan interaksi antar komponen dalam kepribadian sehingga melahirkan suatu pola perilaku tertentu yang sifatnya khas. Dengan cara deskriptif, uraian tidak akan mencapai gambaran kepribadian yang khas. Begitu juga dengan cara tipologis yang dalam dewasa ini makin nampak disukai dan dibutuhkan orang, khususnya untuk bidang organisasi dan industri.
Dalam asesmen kepribadian, pendapat psikoanalisis tentang adanya substansi yang direpresi, merupakan asumsi yang tidak dapat dihindarkan. Setiap gejala yang tampil dalam perilaku, selain didasari oleh intensi yang sadar, juga sangat penting mengenai peran yang tidak sadar, dalam banyak kasus bisa dikemukakan bahwa perilaku yang didasari atau disengaja, sering dilatarbelakangi kebutuhan atau motivasi yang tidak sadar. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memahami latar belakag itu, antara lain dengan melihat simbol atau latar belakang motivasi dibalik tingkah laku sadarnya. Tentu saja harus dimengerti lebih dahulu mengenai paa yang dimaksud dengan perilaku yang sadar dan yang tidak sadar.
1.      Projective Assessement
Projective Assessement berkembang dari perspektif teoritis yang menampilkan karakteristika dinamis sebagai inti kepribadian. Karena itu metode dasarnya melibatkan upaya menyiapkan subyek dalam suatu kisah ambifus dan tanpa isi terhadap mana untuk berespons bersama suatu minimum struktur atau instruksi. Secara teoritis, pemeriksa menganggab bahwa bila semua alat tes berisikan suatu tes yang minimum maka respon subyek hanya merupakan fungsi kepribadian subyek. Berdasarkan pandangan teori psikodinamik mengenai kepribadian, proyeksi dilihat sebagai alat yang sensitif sebagai alat yang sensitif bagi aspek tak sadar prilaku . mekanisme pertahanan diri dan kecendrungan laten disimpulkan dari data fantasi tak tertruktur yang dihasilkan dalam konteks dimana tidak ada jawaban yang benar dan salah. Menurut Lindzey, teknik projective merupakan alat yang dianggab memiliki sensitivitas yang khusus untuk aspek perilaku yang tertutup dan tak sadar, memungkinkan atau menggali verietas respon subjek yang luas, sangat mulitimensial dan menggali data respons yang kaya atau sangat kaya dan bersenyawa dengan kesadaran subjek yang minimum menyangkut tujuan dari tes.
2.      Objective assessment
Pendekatan obyektif asesmen kepribadian merupakan uaha yang secara ilmiah berusaha menggambarkan karakteristika atau sifat-sifat individu atau kelompok sebagai alat untuk memprediksi perilaku. Menurut butcher (1971) ada tiga perbedaan mendasar antara asesmen proyektif dan asesmen obyektif.
a.       Asesmen proyektif sangat menaruh perhtian pada dinamika intrapsihik sementara asesmen obyektif mencari deskripsi sifat. Yang dimaksud deskripsi sifat ialah deskripi kebiasaan seseorang atau gaya karakteristiknya.
b.      Tes proyektif bersifat samar-samar dan memiliki kebebasan untuk menjawab, sementara tes objektif memiliki stimuli yang dirancang secara jelas dan meminta jawaban-jawaban yang terbatas
c.       Isi respons tes proyektif secara tipikal ditafsir tiap orang tanpa referensi norma. Skor tes obyektif membendingkan hasil sangat penting dalam tes obyektif. Secara singkat, asesmen obyektif merupakan pendekatan yang terstruktur, ilmiah, dan non subyektif dalam deskriptif individual.
Yang paling terkenal dalam pemakaian klinis, terutama di kalangan psikiatri, adalah minnesota Multiphassic Personality Inventori (MMPI), California Psychologikal Inventory (CPI), dan Sixteen Personality Factor Questionnair (16 PF)











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
ü Asesmen dalam psikologi klinis ialah pengumpulan informasi untuk digunakan sebagai dasar bagi keputusan-keputusan yang akan disampaikan oleh penilai
ü ada empat komponen dalam proses asesmen psikologi klinis yakni:
§  Perncanaan dalam prosedur pengumpulan data (planing data collection procedures)
§  Pengumpulan data untuk asesmen
§  Pengolahan data dan pembentukan hipotesis atau” image making”
§  Pengkomunikasikan data asesmen baik dalam bentuk laporan maupun dalam bentuk lisan.
ü Intelegensi merupakan pembangkit atau kapasitas global individu untuk bertindak bertujuan, berfikir rasional, dan berhubungan efektif dengan lingkungannya.
ü Sumber intelegensi sendiri adalah genetika, lingkungan dan genetika lingkungan.
ü alat tes intelegensi yang umum dipakai
o  Satand-Binet Intelegence Scale
o  Wechsler Adult Intelegence Scale (WAIS)
ü Asesmen kepribadian merupakan istilah yang umum dalam upaya untuk menemukan pola prilaku dan pola pikiran atau penyesuayan diri seseorang secara khas terhadap lingkungannya






DAFTAR PUSTAKA

Suprapti Slamet,2003, Psikologi Klinis, Jakarta; UI Press
Pengantar Psikologi Klinis
Http://Psikologi Klinis/basic Of Psychology Asesmen dalam Psikologi Klinis.Htm.